Di tepi sungai
itu, di bawah kerimbunan pohon kenari dan willow, duduklah seorang anak petani
sambil memandang arus air yang mengalir tenang dan syahdu. Seorang anak muda
yang tumbuh besar di antara perladangan, di mana segala sesuatunya mempercakapkan
cinta. Cabang-cabang berpelukan, bunga-bunga bergoyang, burung-burung
melompat-lompat. Alam beserta isinya mengkhotbahkan
ajaran Roh.
Adalah seorang
pemuda dua puluh tahunan usia yang kemarin melihat seorang gadis di antara
gadis-gadis di dekat sebuah perigi, kemudain ia mencintainya. Namun setelah ia tahu
dia adalah seorang puteri raja, kecewalah hatinya. Ia hanya bisa mengeluh pada
dirinya sendiri. Tapi celaan tak bisa memalingkan hati dari cinta, ataupun
memalingkan jiwa dari kebenaran. Manusia, di antara hati dan jiwanya, laksana
tunas sebuah ranting di antara angin utara dan angin selatan.
Begitu ia
memandang, dilihatnya bunga violet di antara bunga kanigara. Didengarnya burung
bulbul bercakap dengan burung murai. Ia menangisi kesendirian dan kesepiannya. Saat-saat
cintanya melintas di depan mata, seperti hantu yang berlalu, maka dia pun
berkata dengan perasaan mengalir, berpadu dengan air mata dan kata-katanya.
"Begitulah
cinta menghinaku, demikian pula ia menjadikanku tercela, menggiringku pada
suatu batas di mana harapan dianggap sebuah aib dan dambaan berarti nista.
Cinta yang kupuja telah mengangkat hatiku ke istana sang raja sekaligus
menjatuhkanku ke gubuk petani. Berjalan seiring jiwaku pada kecantikan seorang
bidadari yang dijaga para lelaki dan dikawal oleh derajat yang agung."
"Oh Cinta,
aku seorang patuh, lalu apakah yang kauinginkan? Telah kutelusuri jalanmu yang
berapi dan telah menghanguskanku. Telah kubuka mata dan tak kulihat melainkan kegelapan.
Telah kubuka mulutku tetapi aku tak dapat mengucapkan apapun kecuali
mengucapkan putus asa. Kerinduanku memelukku, aduhai cinta, dengan kelaparan
sukmawi dan tak akan selesai melainkan dengan kecupan kekasih. Aku lemah, wahai
cinta, sementara engkau perkasa, lalu kenapa kaumusuhi aku? Mengapa aku kaudera
sedang engkau adil dan aku merdeka? Mengapa aku kauhina sementara engkau adalah
penolongku satu-satunya? Mengapa aku kaukucilkan sedangkan engkau adalah
keberadaanku?"
"Maka
apabila darahku akan mengalir di luar karsamu, tumpahkanlah. Apabila kakiku
akan melangkah di selain jalanmu, lumpuhkanlah. Lakukan apa maumu pada raga ini
tapi biarkan jiwaku bahagia pada perladangan ini, berlindung di bawah naungan
sayap-sayapmu."
"Sungai-sungai
mengalir menuju kekasihnya, lautan. Bunga-bunga tersenyum pada pencintanya,
cahaya. Dan awan-awan turun menuju dambaannya, lembah. Sedang aku, pada diri
ini ada sesuatu yang tak dimengerti sungai, tak didengar bunga-bunga dan tak
dipahami awan-gemawan. Dan engkau lihat aku sendiri dalam bencanaku, sendiri
dalam cinta menyala, jauh dari dia yang tak menghendakiku menjadi prajurit di
dalam bala tentara ayahnya serta tak rela bila aku menjadi seorang abdi dalam istananya."
Pemuda itu diam
sejenak. Seolaholah ia ingin belajar bicara pada gemercik air sungai dan
gemerisik daundaun di pepohonan. Lalu ia kembali bicara sendirian.
"Duhai
engkau pemilik nama yang aku takut, bahkan untuk memanggilnya
sekalipun. Engkau yang terhalang
pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan. Duhai bidadari yang
akan kujumpai di alam baka, di mana semuanya dipandang sederajat. Duhai insan
yang dianugerahi tenaga di mana para abdi membungkuk di hadapannya, pintupintu gudang
dan tempat ibadah terbuka untuknya, engkau kuasai hati yang dikeramatkan cinta,
telah kauperbudak jiwa yang dimuliakan Tuhan, telah kautahan akal yang kemarin merdeka
seperti perladangan ini, maka jadilah hari ini ia menjadi tawanan bagi belenggu
cinta menyala ini."
"Aku
melihatmu, duhai jelita, maka aku tahu sebab kedatanganku ke dunia ini. Dan
setelah kutahu keagungan pangkatmu dan kehinaan diriku, maka aku sadar bahwa
ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia, serta jalan menuju
suatu tempat di mana cinta memutus tidak dengan hukum manusia."
"Setelah
kutatap sepasang matamu aku menjadi yakin bahwa kehidupan dunia ini adalah
taman Firdaus dengan hati manusia sebagai pintu gerbangnya. Dan begitu kulihat
kemuliaanmu dan kehinaanku, bertarung seperti pertarungan mastodon dan
serigala, aku tahu bahwa dunia ini tidaklah pantas kuhuni. Aku menduga, setelah
kulihat engkau duduk di antara wanita-wanita temanmu, serupa mawar di antara
bunga-bunga, bahwa pengantin mimpiku telah menjelma sosok manusia sepertiku.
Dan sesudah kutahu kemuliaan ayahmu aku sadar bahwa mawar memiliki duri yang
dapat melukai jemari. Segala sesuatu yang telah disatukan mimpi, kesadaran akan
memisahkannya..."
la bangkit lalu
melangkah menuju perigi dengan dua tangan terjurai. Luluh hatinya. la lukiskan
putus harapaannya dengan kalimat-kalimat ini:
"Wahai
maut, bebaskan aku, karena bumi di mana onak duri mencekik leher
bunga-bunganya, tidaklah pantas dihuni. Kemari dan bebaskanlah diriku dari
hari-hari di mana ia turunkan cinta dari singgasana keagungannya dan
menggantinya dengan
kemuliaan tahta. Kemarilah duhai maut,
karena keabadian lebih pantas sebagai tempat pertemuan dua kekasih. Di sanalah,
kematian, kekasihku menunggu. Di sanalah kami
akan menyatu."
Malam telah
turun ketika ia mencapai mata air. Matahari menarik selempang-selempang
keemasannya dari pedataran itu. Dan duduklah ia dengan air mata merana, menetes
di rerumputan yang kemarin dilalui sepasang kaki putri raja itu. Ia menundukkan
kepala ke dada, seakan-akan khawatir hatinya keluar.
Pada kejap itu,
dari balik pohonpohon willow, tampaklah seorang gadis menjinjing ujung
keliman gaunnya di atas rumput, lalu berhenti di hadapan pemuda itu dan menaruh
tangannya yang suterawi pada kepalanya. Pemuda itu kemudian menatapnya dengan
pandangan orang tidur yang terbangun oleh sinar matahari. Ia melihat putri raja
itu tertegun di hadapannya. la pun berlutut seperti halnya
Musa ketika melihat semak-semak
menyala.
Saat ia hendak
berkata, ia bungkam. Dan air matanya yang tergenang itulah sebagai ganti
mulutnya.
Gadis itu lalu
memeluknya, mengecup bibirnya, mencium matanya dan menghisap air matanya yang hangat
lalu berkata dengan suara yang melebihi lembut alunan seruling.
"Telah
kulihat engkau, kekasihku, dalam mimpi-mimpiku. Kulihat wajahmu
dalam kesendirianku dan
keterpisahanku. Engkaulah kekasihku yang hilang dan belahan jiwaku yang rupawan,
terpisah manakala aku ditakdirkan lahir ke dunia ini. Aku datang sembunyi-sembunyi
demi menjumpaimu. Dan kini lihatlah, engkau berada dalam rengkuhanku. Tak usah cemas
karena telah kutinggalkan kemuliaan ayahku untuk mengikutimu ke penghujung bumi
sekalipun, bersamamu aku akan mereguk cawan hidup dan kematian. Bangkitlah kekasihku,
mari kita pergi menuju ternpat yang jauh dari manusia."
Sepasang
asyik-masyuk itu pun berjalan di antara pepohonan yang disembunyikan
tirai-tirai malam, tapi tidak terhijab oleh para pengintai sang raja dan
bayang-bayang kegelapan.
Di sana, di
penghujung negeri, secara kebetulan para mata-mata raja menemukan sepasang
kerangka manusia. Pada leher salah satunya terdapat kalung emas. Di dekat
mereka terdapat sebuah batu dengan aksara sebagai berikut; Cinta telah
menyatukan kami, siapa mampu memisahkan kami? Kematian telah
merenggut
kami, siapa
sanggup mengembalikan kami?