Dalam tahun ketiga puluh dari hidupnya, Yusof el-Fakhri meninggalkan dunia dan semua yang ada di dalamnya demi hidup sebagai seorang pendiam, pertapa asketik di dalam biara sunyi di tepi Lembah Kadisha di sisi utara Gunung Lebanon itu.
Penduduk dari desa-desa tetangga berselisih mengenai siapa dia sebenarnya. Sebagian mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga hartawan dan terpandang, tapi dia dikhianati oleh wanita yang dia cintai. Karena alasan ini dia tinggalkan rumah tuanya, mencari penghiburan dalam kesendirian. Yang lain berkata bahwa dia adalah seorang penyair hebat yang melarikan diri dari tuntutan masyarakat agar bisa mencatat pikiran-pikiran dan perasaannya dalam puisi. Yang lain berkata bahwa dia adalah seorang sufi yang saleh, yang dipenuhi dengan keyakinannya dan tak memperdulikan dunia. Bahkan yang lain berujar dengan enteng, Dia gila.
Aku sendiri tak punya kesimpulan terhadap pendapat-pendapat ini, karen aku tahu bahwa jiwa-jiwa yang berisi misteri gelap takkan pernah bisa diungkap dengan spekulasi yang gampangan. Ingin kutemui orang asing itu dan ingin sekali bercakap-cakap dengannya. Dua kali aku mencari untuk mendekatinya agar menemukan penjelasan siapakah dia sesungguhnya. Dia hanya membelalak dan menolak diriku dengan kasar dan kata-kata dingin. Saat pertama aku berjumpa dengannya, dia sedang berjalan dekat hutan Cedar. Aku melempar salam padanya sesopan aku mampu. Dia kembali melempar salam dengan anggukan pendek, berpaling, dan pergi lari dariku. Kali kedua aku menemukannya sedang berdiri di tengah sebuah kebun anggur kecil dekat biaranya. Aku menghampirinya dan berkata, “Kemarin aku mendengar bahwa seorang pendeta Syiria membangun biara ini pada abad keempat belas. Apa Anda tahu sesuatu tentang itu, Tuan?”
Dia menjawabku dengan membelalak, “Aku tak tahu siapa yang mendirikan pondok ini, juga aku tak mau tahu.” Lalu dia membalikkan punggungnya ke arahku dan menambahkan dengan rasa penghinanan. “Mengapa tidak kau tanya nenekmu? dia lebih tua dan lebih tahu tentang sejarah lembah-lembah ini.” Maka aku meninggalkannya, bingung dan malu atas sikap kekanakanku.
Dua tahun berlalu. Kehidupan orang yg mengandung teka teki ini memikat imajinasiku dan memenuhi pikiran serta mimpi-mimpiku.
Suatu hari di musim semi aku mengembara di antara perbukitan dekat biara Yosof el-Fakhri dan tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah prahara. Angin dan hujan membuat diriku laksanana alat permainan laut yg mengamuk mempermainkan sebuah kapal, gelombang menghancurkan kemudi dan angin mengoyak-ngoyak layarnya. Aku berbelok menuju biara itu, sambil membatin, Inilah kesempatan yang telah lama kucari untuk menyambangi pertapa ini, karena badai akan menjadi alasanku dan pakaianku yang basah penyokongku.
Aku mencapai biara itu dalam keadaan yang menyedihkan. Tak lama kemudian aku mengetuk pintu, lalu lelaki yang telah begitu lama kurindukan telah tepat berada di hadapanku. Dia memegang seekor burung, kepalanya terluka dan sayap-sayapnya patah, bergetar seolah-olah dia berada dalam ambang nafas terakhirnya. Setelah memberi salam padanya, aku berkata, “Maafkan aku, Tuan, karena kedatanganku dengan cara begini, tapi badai begitu hebat dan aku jauh dari rumah.”
Dia mengamati wajahku dan kemudian berbicara dengan suara yang dinodai kemuakan. “Ada banyak gua di daerah ini. Anda bisa mengungsi di salah satu gua itu.”
Dia berkata sambil mengusap kepala burung dengan kelembutan yang tak pernah kulihat dalam hidupku. Aku heran dengan dua pertentangan—kekembutan dan kekejaman sekaligus—aku tak faham apa yg dilakukannya. Agaknya dia tahu apa yang ada dibenakku. Dia memandangku, mencari penjelasan, dan berkata, “Prahara takkan memakan makanan basi. Mengapa engkau takut padanya dan melarikan diri?"
Aku menjawab, “Prahara tidak mungkin seperti makanan, basi atau segar, tapi dia candu yang dingin dan basah. Tanpa ragu-ragu dia akan menemukanku laksana santapan yang lezat, dan dia akan meraih diriku sekali lagi.”
Wajahnya tenang sejenak lalu berkata, “Prahara akan menelanmu, kau akan mencapai suatu kehormatan yang engkau tak layak mendapatkannya.”
Aku membalas, “Ya, tapi Tuan, aku datang padamu melarikan diri dari prahara agar tak menerima kehormatan yang tidak kuwarisi.”
Dia memalingkan kepalanya, mencoba menyembunyikan senyum tipisnya, dan menunjuk sebuah bangku kayu dekat perapian tempat sekobar api terbakar, “Duduk dan keringkan pakaianmu.”
Setelah berterima kasih, aku duduk di dekat perapian. Dia duduk di depanku pada sebuah bangku yang tersandar pada batu. Dia mulai memasukkan ujung-ujung jarinya ke dalam sebuah kendi tanah, mengusapkannya ke sayap dan kepala burung yang terluka. Lalu dia menoleh kepadaku dan berkata, “Angin menangkap burung murai ini dan melempar dia menghantam batu karang, meninggalkan dia dalam keadaan setengah mati”
Aku menjawab, “Angin, Tuan, juga membawaku ke pintumu, dan kini aku tak tahu apakah dia mematahkan sayapku atau melukai kepalaku.”
Dia menatap wajahku dengan penuh perhatian. “Betapa hebatnya manusia kalau memiliki sifat dasar seekor burung, sehingga angin dapat mematahkan sayapnya dan meremukkan kepalanya. Tapi manusia ada dengan sikap penakut dan pengecut. Begitu dia disentakkan prahara dia pun melarikan diri, berusaha menyembunyikan dirinya di antara bebatuan karang dan gua-gua bumi.”
Sambil menerawangkan pikiran ini, aku berkata, “ya, burung itu memiliki kehormatan yang tak dimiliki manusia, karen manusia hidup dalam bayang-bayang hukum dan adat yang dia rencanakan untuk dirinya sendiri, namun sekawanan burung hidup sesuai dengan kemutlakan hukum semesta yang memandu bumi mengedari matahari.”
Matanya bercahaya dan wajahnya menunjukkan kegembiraan seorang guru yang menemukan seorang murid penuh pengertian. “Bagus.Bagus! Kini jika engkau percaya akan kebenaran dari apa yang kau tuturkan, tinggalkanlah manusia dengan adat rusak dan undang-undang yang tak bernilai. Hiduplah di tempat yang terpencil dan jangan mematuhi hukum kecuali hukum bumi dan langit!”
Aku membalas, “Tuan, aku percaya apa yg kukatakan”
Dia mengangkat tangannya dan berbicara dengan suara keras dan pongah, “Percaya adalah satu hal, namun perbuatan adalah hal yang lain, namun hidup mereka seperti rawa-rawa busuk. Mereka yang menengadahkan kepalanya di atas puncak gunung, namun jiwa mereka tetap tidur dalam kegelapan gua-gua.”
Sementara dia berbicara, aku tak sempat menyela. Dia bangkit dari tempatnya dan menempatkan burung murai di atas pakaian lusuh di dekat jendela. Dia lalu mengambil segenggam ranting kering dan melemparkannya ke atas api, sambil berkata. “Tanggalkan sepatumu dan keringkanlah kakimu. Kelembaban tidak sehat untuk manusia. Keringkanlah pakaianmu dan janganlah merasa segan.”
Aku beranjak dan berdiri di dekat perapian, uap mengepul dari bajuku yang basah, sedangkan dia tetap tegak berdiri di pintu pondok, sambil memandang langit yang sedang murka.
Sejurus kemudian, aku bertanya padanya, “Sudah lamakah Anda tinggal di biara ini?”
Dia menjawab tanpa memandangku, “Aku datang kemari ketika bumi tanpa bentuk, dan jiwa Tuhan bergerak di atas permukaan air”
Tetapi dalam hatiku aku berfikir, “Betapa anehnya orang ini, dan betapa sulit untuk mengenalinya apa adanya. Meskipun demikian, aku harus bertanya padanya dan mempelajari misteri-misteri jiwanya. Aku akan menanti dengan sabar sampai dia berhenti menghina dan menjadi lebih lunak dan lembut.”
Kegelapan menebarkan jubah hitamnya di atas lembah-lembah, dan hujan turun terus menerus sehingga aku membayangkan bahwa banjir telah datang untuk kali kedua demi menghancurkan kehidupan dan memurnikan bumi dari kotorannya. Amukan prahara rupanya menciptakan kedamaian dalam jiwa Yusof el-Fakhri, sebab kadangkala suatu akibat memiliki dampak yang bertentangan. Kebenciannya padaku tiba-tiba berubah menjadi persahabatan. Dia bangkit dan menyalakan dua kandil. Dia meletakkan sebuah kendi tanah berisi anggur dan sebuah nampan berisi roti, keju, buah zaitun, madu, dan buah-buahan kering di hadapanku. Dia duduk di hadapanku dan berkata dgn santun, “Ini semua adalah makanan yang kupunya. Silakan, saudaraku, membaginya bersamaku.”
Kami menyantap makan malam kami dalam kebisuan, diiringi raungan angin dan ratapan hujan. Kuamati wajahnya di antara suapan-suapan, mendalami untuk menemukan petunjuk yang tersembunyi di kedalaman jiwanya yang mungkin menyiratkan makna kehendak hati dan perasaannya, misteri-misteri yang berakar dlm jiwanya.
Setelah dia menghentikan makan malam, dia mengangkat sebuah ceret tembaga berisi kopi panas, menuang kopi murni yang harum ke dalam dua buah cawan, dan membuka kotak berisi rokok.
Dengan tenang dia berkata. “Silahkan.saudaraku.”
Aku mengambil sebatang rokok dan mengangkat cawan kopi. Aku hampir tidak percaya pada apa yang aku lihat. Dia memandang seolah-olah dia mengerti pikiranku, dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Setelah kunyalakan rokok dan menyesap sedikit kopi, dia berkata. “Pasti, Anda terkejut menemukan anggur, tembakau, dan kopi di biara ini, serta makanan dan selimut . Aku tak menyalahkan Anda, karena Anda, seperti kebanyakan orang, membayangkan bahwa pengasingan dari khayalak ramai berarti pengasingan dari kehidupan dan dari kesenangan-kesenangan alamiah serta kegembiraan yang bersahaya dari kehidupan.”
Aku menjawab, “Ya, Tuan, karena kita biasa berfikir bahwa seseorang yang membelakangi dunia, untuk beribadah kepada Tuhan, meninggalkan di belakangnya segala kenikmatan dan kesenangan dunia demi hidup bersahaya, asketik, dan kehidupan menyendiri, mencukupi dirinya dengan air dan tumbuhan bumbu.”
Dia berkata, “Aku bisa beribadah kepada Tuhan meskipun tinggal di tengah masyarakat, karena beribadah itu tidaklah memerlukan pengasingan dan kesendirian. Aku tidak meninggalkan dunia untuk menemukan Tuhan, karena aku telah menemukan-Nya di rumah ayahku dan di setiap tempat yang lain. Aku mengelak khayalak ramai karena sifatku tidak sesuai dengan sifat mereka, impian-impianku tidak seirama dengan mimpi-mimpi mereka. Aku meninggalkan khayalak ramai karena kutemukan diriku adalah sebuah roda yang berbelok ke kanan di antara banyak roda yang berbelok ke kiri. Kutinggalkan kota hingga kutemukan sebuah pohon yang rusak, tua dan kuat, dengan akar-akar yang terhunjam di kegelapan bumi dan cabang-cabangnya menggapai mega. Namun bunga-bunga adalah ketamakan, penganiayaan, dan kejahatan. Buah-buahnya adalah kesengsaraan, penderitaan dan ketakutan. Orang-orang budiman mencari korupsi apapun untuknya yang akan mengubah hakikatnya, tapi mereka gagal. Mereka mati karena kecewa, tertindas dan dikalahkan.”
Pada saat itu, dia bersandar pada perapian, sambil melihat untuk menemukan kesenangan di dalam pengaruh kata-katanya terhadapku. Dia agak memperkeras suaranya dan melanjutkan, “Tidak, aku tidak mencari kesendirian untuk beribadah, bertapa, karena ibadah adalah nyanyian hati dan akan mencekau telinga Tuhan justru jika berpadu dengan suara ribuan orang. Bertapa? Itu mengawasi tubuh dan membuat malu hasratnya. Ini tak mendapat tempat dalam agamaku. Tuhan menciptakan tubuh sebagai kuil bagi jiwa. Kita harus melindungi kuil ini agar ia tetap kuat dan suci, cocok untuk keilahian yang turun ke dalamnya.
“Tidak, saudaraku, aku tidak mencari kesunyian untuk beribadah dan bertapa. Aku mencarinya ketika aku mengelak dari khalayak ramai, dari undang-undang dan ajaran dan kebiasaan serta pikiran-pikirannya, dari tuntutan dan ratapannya. Aku mencari kesunyian agar aku tak melihat wajah orang-orang yang menjual jiwa mereka demi membeli sesuatu yg lebih murah. Aku mencari kesunyian agar aku tak melihat wajah orang-orang yang menjual jiwa mereka demi membeli sesuatu yang lebih murah daripada jiwa mereka baik dalam hal harga maupun kehormatan. Aku mencari kesunyian karena aku tidak dapat menjumpai wanita yang pergi jalan-jalan dengan leher terjulur, mata berkedip-kedip, pada mulutnya seribu senyuman, dan di kedalaman hatinya sebuah tujuan tunggal. Aku mencari kesunyian karena tak bisa duduk bersama mereka yang hanya memiliki pengetahuan parsial, melihat bayangan ilmu pengetahuan dalam mimpi dan membayangkan diri mereka dalam lingkaran kearifan. Ketika siaga dan terjaga—mereka menyaksikan sesuatu yang aneh dan muncul dengan tiba-tiba dari realitas dan membayangkan bahwa mereka memiliki esensinya yang sempurna. Aku mencari kesunyian karena aku bosan atas kebaikan yang tahu adat yang membayangkan kerendahan hati sebagai kelemahan, kasih sayang sebagai kepengecutan, kecongkakan sebagai sejenis kemuliaan.
“Aku mencari kesunyian karena aku bosan kepada orang kaya, yang mengira bahwa matahari dan rembulan serta bintang-gemintang hanya dari harta kekayaan mereka, dan menempatkannya melulu di dalam kantong mereka, jemu dengan para negarawan yang memainkan
Permainan dengan harapan-harapan bangsa dan yang meninggalkan debu emas di matanya dan mengisi telinga mereka dengan gema kata-kata. Aku letih terhadap para pendeta yang mendesak manusia dengan nasehat karena mereka sendiri tidak melaksanakannya, meminta pada orang lain apa yang mereka tak harapkan dari mereka sendiri. Aku mencari kesunyian dan kesendirian karena aku tidak memperoleh dari tangan manusia keselamatan atas harga hatiku yang telah dibayar. Aku mencari kesunyian dan pengasingan karena aku benci akan istana yang besar dan hebat yang disebut peradaban, karena bangunan dengan arsitekturnya yang bagus berdiri tegak di atas bukit tengkorak manusia.
“Aku mencari kesunyian karena di dalam kesunyianlah terdapat kehidupan jiwa dan pikiran, hati dan raga. Aku mencari hutan belantara karena di sana kutemukan cahaya matahari, harum kembang, gemericik sungai. Aku mencari pegunungan karena di sana kutemukan kebangkitan musim semi, kerinduan musim panas, nyanyian musim gugur, dan kekuatan musim dingin. Aku datang ke biara sunyi ini karena aku ingin mengetahui rahasia alam semesta dan mendekati singgasana Tuhan.”
Dia diam, menarik nafas yang berat dari punggungnya. Matanya memancarkan sinar aneh dan ajaib. Kebanggaan dan kepuasan hati serta kekuatan yang memancar dari wajahnya.
Aku memandangnya untuk beberapa menit, merasa senang atas penemuan yang telah tersembunyi dariku. Lalu aku menunjuk padanya, “Anda benar dalam segala hal yang Anda tuturkan, tapi, Tuan, apakah Anda tidak melihat? Anda telah mendiagnosis penyakit masyarakat dan telah menunjukkan padaku bahwa engkau salah seorang dari dokter yang ahli. Adalah tidak benar bagi dokter meninggalkan sebelum pasien dirawat atau mati. Dunia yang merana memerlukan orang seperti Anda. Adalah tidak adil bagi Anda untuk memisahkan diri dari penduduk padahal Anda mampu menolong mereka.”
Dia menatapku untuk sejenak, lalu berkata dengan suara putus asa dan dipenuhi kegetiran, “Sejak awal para tabib telah berusaha menghilangkan rasa sakit dari kesakitannya. Sebagian dengan menggunakan skalpel, dan yang lain menggunakan obat-obatan dan bubuk. Seluruh tabib ini telah tewas tanpa harapan. Terkutuklah pasien yang di seruluh zaman, tak ada pilihan kecuali membatasi dirinya pada ranjang kotorannya, ditolong hanya melukai luka-lukanya yang tak tersembuhkan! Tapi ketika seseorang menyambanginya untuk merawatnya, dia menjulurkan tangan untuk mencekiknya. Kebenaran yang membuat diriku sangat marah dan yang mengarahkan darahku ke api adalah kejahatan pasien yang membunuh tabib ini, lalu memejamkan matanya dan berkata pada dirinya sendiri, “Sesungguhnya dia adalah tabib besar... “Tidak, saudaraku, tak ada seorangpun yang dapat menolong mereka. Betapa pun terampilnya sang petani, dia tak dapat membuat kebunnya berbunga di tengah musim dingin.”
Aku menjawabnya demikian, “Tuan, musim dingin dunia telah berlalu, dan setelah itu akan datang cahaya dan musim semi yang indah. Bunga-bunga akan bersemi di padang-padang dan nyanyian anak sungai di lembah-lembah!
Dia mengerutkan dahi dan mendesah, berkata dalam suara yang diwarnai dengan kesedihan, “Setahuku, Tuhan telah membagi kehidupan manusia, yang merupakan seluruh keabadian, ke dalam musim-musim bagaikan musim-musim dari sang tahun, cepat menyusut dan saling mengikuti di dalam penggantian. Setelah sejuta tahun, apakah sebuah bangsa manusia yang muncul di atas permukaa bumi hidup dengan jiwa dan kebenaran? Apakah suatu masa akan tiba ketika manusia akan duduk dalam kemuliaan di tangan kanan kehidupan, bergembira dalam cahaya siang yang gemilang dan keheningan malam? Apakah engkau meramalkan datang untuk berlalu? Atau apakah itu datang untuk berlalu hanya setelah bumi kenyang dengan daging manusia, memuaskan dahaganya dengan darah mereka?”
Dia berdiri, mengangkat tangan kanannya seolah-olah dia sedang menunjukkan ke sebuah dunia lain ketimbang dunia ini. “Inilah mimpi yang tak masuk akal, dan biara ini bukanlah sebuah rumah impian. Itulah yang kutahu tentang kepastian yang mengisi setiap sudut dan ruang di dalamnya, sungguh-sungguh mengisi setiap sudut dan ruang di dalamnya, sungguh-sungguh mengisi setiap tempat di lembah-lembah dan pegunungan ini. Namun yang aku tahu mengenai kepastian hanyalah sebatas ini. Aku adalah wujud kemakhlukan yang ada, dan di kedalaman diriku adalah kelaparan dan kehausan. Aku paham kebenaran ini—karena aku menghidangkan roti dan anggur kehidupan di dalam jambangan-jambangan yang telah kuciptakan dengan tanganku sendiri. Atas alasan itulah aku tinggalkan meja pesta manusia dan datang ke tempat ini. Di sinilah aku akan tinggal sampai akhir.”
Dia berjalan hilir mudik di ruangan itu, sementara aku merenungi dirinya dan merenungkan kata-katanya. Itulah yang menyebabkannya melukiskan lukisan umat manusia dengan garis-garis yang begitu bengkok dan warna-warna gelap. Aku menyelanya untuk bertanya, “Bagaimana mungkin aku menghargai gagasan dan maksud Anda, Tuan, atau menghormati kesendirian dan pengasinganmu, kalau aku tahu dan pengetahuan membawa dukacita bahwa melalui pembuangan dan pengasingan diri Anda ini bangsa yang sengsara telah kehilangan seorang manusia yang dikaruniai kemampuan membantu dan membangkitkannya?”
Seraya mengagukkan kepalanya, dia menjawab, “Bangsa ini tidak berbeda dibanding semua bangsa lain. Semua manusia memiliki hakikat yang sama. Mereka berbeda, satu dari yg lain, hanya pada permukaan dan dalam penampakan luarnya yang tak terkira banyaknya. Kesengsaraan bangsa-bangsa Timur adalah kesengsaraan seluruh dunia. Tiada apapun di Barat yang dapat kau pertimbangkan unggul kecuali hanya pengejawantahan lain dari angan-angan yang hampa. Kemunafikan tetaplah kemunafikan, walaupun kuku-kukunya dirawat. Korupsi tetaplah korupsi, walaupun sentuhannya lembut. Penipuan tidak menjelma menjadi kebenaran dengan mengenakan baju sutra dan hidup di istana, penipuan tidak menjadi kejujuran dengan menaiki kereta-keretanya atau naik ke langit dengan kapal udaranya. Ketamakan takkan menjadi kesenangan melalui pengukuran atau pertimbangan unsur-unsur. Kejahatan takkan menjadi kebajikan dengan berjalan di antara pabrik dan laboraturium.
“kemudian di sana terdapat perbudakan-perbudakan kepada kehidupan, perbudakan kepada ajaran dan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat kelas atas, perbudakan kepada kematian. Perbudakan akan tetap perbudakan walaupun wajahnya dicat dan pakaiannya diubah. Perbudakan akan tetap perbudakan walau dia menyebut dirinya kebebasan. Tidak, saudaraku, orang Barat tak lebih tinggi derajatnya daripada orang Timur. Mereka tidak jauh berbeda daripada serigala dengan hyena. Aku memperhatikan dirinya dan kulihat bahwa di balik perwujudan masyarakat manusia yang berubah-ubah ada keadilan hukum yang tunggal menebarkan penderitaan, kebutaan, dan kebodohan secara sama. Ia tidak melebihkan suatu bangsa ketimbang yang lain atau memperlakukan suatu kelompok secara tidak adil dan tidak terhadap yang lain.“
Dengan perasaan heran dan tercengang, aku berkata, “Jadi peradaban dan semua yang ada di dalamnya adalah kesia-siaan?”
Dengan gembira dia menjawab, “Ya, peradaban adalah kesia-siaan, dan semua yang ada di dalamnya adalah kesia-siaan. Apakah penciptaan dan penemuan ini kecuali sifat buruk yang dengannya pikiran membingungkan dirinya sendiri pada saat bosan dan tak senang? Penaklukan jarak, pendakian gunung, penjelajahan lautan dan angkasa semuanya adalah buah-buah palsu yang terbuat dari asap. Mereka tidak menyamankan mata, juga tidak memberi makan hati nurani, juga tidak memuliakan jiwa. Seperti untuk tebakan dan teka-teki yang mereka namakan 'ilmu pengetahuan' dan seni', mereka tak memiliki apapun kecuali belenggu emas dan rantai yang manusia seret, senang dalam kemegahannya dan gemerincing mata rantainya. Tidak, mereka adalah sangkar-sangkar yang berjeruji dan jeruji manusia mulai ditempa di masa silam, sedikit mengetahui bahwa akhir dari usahanya akan menjadikan dirinya seorang pahlawan yang terpenjara di antara mereka.
“Ya, perbuatan manusia adalah kesia-siaan, dan kesia-siaan setiap tujuan, hasrat, keinginan, kegunaan, dan harapannya. Segala sesuatu di muka bumi adalah kesia-siaan. Diantara semua kesia-siaan kehidupan hanya satu yang pantas untuk jiwa, pantas untuk hasrat yang dikehendaki. Tiada apa pun di sana kecuali sesuatu yang tersendiri.”
Aku berkata, “Apakah itu, Tuan?”
Dia berdiri tenang sejenak, matanya terpejam, wajahnya berbinar dan bahagia. Dengan suara yang manis dan bergetar dia berkata, “Itulah kelemahan jiwa. Itulah kelemahan di relung-relung jiwa. Itulah pikiran yang membawa kegembiraan luar biasa secara tiba-tiba pada saat tidak memperhatikan, menjernihkan penghayatan seseorang agar orang melihat kehidupan yang dikelilingi oleh nyanyian, dilingkupi oleh lingkaran cahaya, menjulang bagai menara cahaya diantara bumi dan ketakterhinggaan. Itulah salah satu pelita dari hakikat paling dalam eksistensi yang pecah secara mendadak menjadi lidah api di dalam jiwa dan membakar sekam, mengambang, melayang-layang di langit luas. Itulah kasih sayang yang turun ke dalam hati seseorang: dia bangkit, mengherankan, dan menolak semua yg bertentangan dangannya, membenci semua yang gagal menyesuaikan diri, memberontak melawan siapapun yang memahami misterinya. Ia adalah tangan rahasia yang menyingkapkan tabir dari hadapan mataku pada suatu saat ketika aku berada di rombongan keluarga, sahahat, dan saudara-saudara setanah air: aku bangkit, bingung dan tercengang, berkata pd diri sendiri, “Siapakah empunya wajah ini, dan siapa orang-orang yang memandangku ini? Bagaimana mereka mengenalku? Di manakah aku bersua dengannya? Mengapa aku berada di antara mereka? Mengapa aku duduk di tengah mereka dan berbicara dengannya? Apakah aku orang asing di rumah tinggal yang dibangun untukku, dan yang kunci kehidupannya dipercayakan kepadaku?”
Tiba-tiba dia terdiam, seolah mengingat bentuk-bentuk yang tergambar dan bentuk-bentuk dalam ingatannya yang tidak ingin ia singkapkan. Lalu dia merentangkan tangannya dan berbisik, “Ini terjadi padaku empat tahun lalu. Kutinggalkan dunia dan mendatangi tanah kosong ini untuk hidup dalam kebangkitan, mengambil kenikmatan-kenikmatanku dari pikiran, cinta, dan keheningan.”
Dia berjalan menuju pintu biara dan memandang ke lubuk malam, lalu dia memekik seolah dia berbicara pada prahara. Itu adalah kebangkitan di kedalaman jiwa, dan barang siapa yang menyadarinya tak mampu mengungkapkannya dengan berbicara. Barangsiapa yang tidak memahaminya, dia tidak memahami misteri-misterinya.
Satu jam yang panjang melintas dalam pikiran dan pekikan pada prahara. Yusof el-Fakhri kadangkala berjalan hilir mudik di tengah ruangan dan adakalanya berdiri di pintu, sambil memandang pada langit yang suram. Dan aku? Aku tetap diam, mengamati gelombang yang mengetuk dalam jiwanya, mencoba memahami kata-katanya, merenungkan hidupnya dan, di balik kehidupannya kenikmatan serta luka-luka dari kesunyian. Tatkala paruh ke dua dari sang malam mencapai akhir, dia datang mendekatiku dan memandang wajahku untuk waktu yang lama. Seolah-olah dia sedang mencoba memelihara ingatannya pada suatu gambaran manusia yang misteri kesendirian dan pengasingannya telah ia singkapkan. Lalu dengan lirih ia berkata, “Sekarang aku akan pergi berjalan menembus badai. Itu adalah suatu kebiasaan yang memberiku kesenangan di musim gugur dan musim dingin... Di sini ada kopi dan rokok. Jika kau menginginkan anggur, Anda dapat menemukannya di dalam kendi. Jika kau ingin tidur, Anda dapat menemukan selimut dan bantal di sudut itu.”
Ketika dia menuturkan ini, dia mengambil sebuah jubah hitam yang berat dan tersenyum. “Kuharap kau menutup pintu biara saat kau pergi pada pagi hari. Aku berencana menghabiskan siang esok harinya di hutan cadar.”
Ia melangkah menuju pintu dan membawa sebuah tongkat panjang yang selanjutnya bersandar padanya. Dia berkata, “Jika prahara mengejutkan engkau untuk kali kedua saat Anda berada di sekitar sini, jangan ragu-ragu untuk mencari perlindungan di biara ini. Tapi kuharap bahwa jiwamu akan mencintai prahara, jangan takut padanya,.. Selamat malam, saudaraku.”
Ia berjalan ke luar dengan cepat memasuki malam. Ketika aku melangkah menuju pintu biara untuk melihat arah yang dia tempuh, kegelapan telah menelan dirinya. Selama beberapa menit aku tetap mendengar langkah-langkah kakinya di batu kerikil lembah itu.
Pagi telah tiba dan prahara telah berlalu. Awan berpencar dan gunung karang serta hutan nampak, diselimuti cahaya matahari. Kutinggalkan biara itu, sambil menutup pintu di belakangku. Di dalam jiwaku aku merasakan suatu kelemahan spiritual yang telah dibicarakan oleh Yusof el-Fakhri.
Sebelum aku kembali menuju tempat kediaman khayalak ramai, sebelum aku melihat gerakannya dan mendengar suara mereka, aku berhenti dan berkata dalam hatiku, “Ya, kebangkitan spiritual cocok bagi manusia—lagi pula, itulah tujuan manusia—tapi bukanlah peradaban, beserta kegelapan dan ambiguitasnya, adalah salah satu menyebabkan kesadaran spiritual? Aku heran bagaimana mungkin kami menolak sesuatu yang ada, kalau kenyataan sebenarnya adalah bukti keyakinan atas kebenarannya? Mungkin peradaban modern adalah suatu kebetulan yang melintas, tapi hukum abadi membuat kebetulan-kebetulan itu suatu tangga yang anak tangganya menuju ke substansi yang absolut.”
Aku tak pernah lagi berbicara dengan Yusof el-Fakhri, karena akhir dari kehidupan musim gugur itu telah menarikku jauh dari Lebanon utara. Aku pergi sebagai orang pengasingan ke negeri-negeri yang jauh, yang praharanya begitu gelap. Tapi kehidupan pertapa di negeri itu adalah sejenis kegilaan.