KAHLIL GIBRAN QUOTES

Ditelan Nestapa




Suatu hari Farris Effandi mengundangku makan malam di rumahnya. Aku memenuhinya. Jiwaku lapar akan roti lezat yang disuguhkan surga melalui tangan-tangan Selma. Roti spiritual yang membuat hati kami semakin lapar saat menyantapnya. Itulah roti yang dinikmati oleh Kais (seorang pujagga Arab), Dante dan Sappho dan yang menyalakan api di hati mereka. Roti yang disiapkan seorang dewi dengan manisnya ciuman dan pahitnya air mata.

Saat aku sampai di rumah Farris Effandi, aku melihat Selma sedang duduk di bangku di kebun. Ia menyandarkan kepalanya di sebuah pohon dan tampak seperti seorang mempelai dalam gaun sutera putihnya atau seperti seorang pengawal yang menjaga tempat itu.

Dengan tenang dan sopan, aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Karena aku tak dapat mengucap sepatah kata pun maka aku berusaha diam, satu-satunya bahasa hati. Namun aku merasa bahwa Selma mendengar suara tanpa kataku dan melihat hantu-hantu jiwaku melalui sepasang mataku.

Beberapa menit kemudian laki-laki tua itu datang menyapaku seperti biasa. Ketika mengulurkan tangan padaku, aku merasa seolah ia sedang memberkahi rahasia-rahasia yang menyatukanku dengan puterinya. Kemudian ia berkata: "Makan malam sudah siap anak-anakku, mari kita bersantap." Kami beranjak mengikutinya.
Sepasang mata Selma berkerjapkerjap karena sebuah perasaan baru menambah kecintaannya ketika ayahnya memanggil kami dengan sebutan anak-anaknya.

Kami duduk di meja menikmati makanan dan meminum anggur lezat. Namun jiwa kami sedang berkelana di sebuah dunia yang jauh. Kami melamunkan masa depan dan kesulitannya. Tiga orang yang terpisah dalam pikiran namun menyaru dalam cinta. Tiga manusia lugu yang memiliki banyak perasaan dan sedikit pengetahuan. Sebuah drama yang ditampilkan oleh seorang laki-laki tua yang mencintai puterinya, seorang perempuan muda sekitar dua puluh tahunan yang memandang masa depan dengan gelisah dan seorang laki-laki muda yang melamun dan khawatir. Pemuda yang tidak merasakan anggur kehidupan maupun cukanya dan
berusaha menggapai agungnya cinta dan pengetahuan, namun tidak dapat mengangkat dirinya. Kami bertiga duduk dalam suasana temaram makan dan minum dalam rumah
yang terpencil itu, diawasi sepasang mata surga namun bagian atas gelas kami tertutup kepahitan dan kesedihan.

Ketika kami selesai makan, salah seorang pelayan memberitahukan kedatangan seorang laki-laki yang ingin bertemu dengannya. "Siapa ia?" tanya laki-laki tua itu. "Utusan pendeta," jawab pelayan itu. sejenak Farris Effandi terdiam memandang puterinya seperti seorang nabi yang memandang langit untuk menyingkap rahasia-
rahasianya. Kemudian ia berkata pada pelayan tesebut "Persilakan ia masuk."

1
2
3

PUISI KAHLIL GIBRAN