Di
sepanjang anak sungai yang berkelok liku di antara bongkahan batubatu cadas di kaki
Gunung Lebanon duduklah seorang penggembala wanita dikelilingi sekerumunan
dombadomba kurus yang sedang merumput di atas rumput kering.
Dia melemparkan pandangannya
pada senjakala di kehampaan yang kelam seolah hendak mengejar khayalan yang
lepas meninggalkannya. Air mata menetes di kelopak matanya, setetes embun menghiasi
bunga-bunga. Penderitaan telah menyebabkan bibirnya terbuka, dan hatinya pun
pasrah menanggung resah dan gelisah.
Setelah
matahari terbenam, selaksa bukit-bukit kecil dan gunung-gunung membungkus diri
mereka dalam bayangan, Sejarah berdiri di hadapan perawan. Dia adalah seorang lelaki
tua berambut putih seperti salju merayap di atas dada dan pundaknya. Di
tangan kanannya tergenggam sabit yang tajam. Dalam suara yang menyerupai
raungan lautan, ia berkata, "Salam sejahtera bagimu, Syiria."*)
Sang
bunga mawar perawan menggigil ketakutan dan bergumam. "Apa yang kau
inginkan dari hamba, hai Sejarah?" Kemudian ia menunjuk dombanya.
"Ini adalah sisa sekawanan dombaku yang kerapkali menyusuri lembah ini.
Inilah keirihatianmu yang engkau
tinggalkan padaku. Apakah kedatanganmu sekarang sekedar untuk memenuhi hasratmu
yang rakus itu?
*) Saat kisah ini ditulis Lebanon
dan Syiria adalah satu negara yang dikenal dengan sebutan Syiria.
Daratan
ini yang dulu pernah tumbuh subur kini telah gersang diinjak-injak oleh kakimu
yang penuh debu tandus. Lembu milikku, yang pernah merumput di atas bunga-bunga
dan menghasilkan susu yang berkental-kental, kini menggerogoti tanaman widuri
yang kurus kering.
Takutlah
pada Tuhanmu, oh Sejarah, dan engkau merundungku tanpa ampun. Pandanganmu
membuat aku benci pada kehidupan, dan dengan kejam sabitmu telah membuat diriku
mencintai Kematian.
Tinggalkan
aku dalam kesunyian agar bisa mengeringkan cangkir duka cita, anggur terbaikku.
Pergilah, hai Sejarah, ke Barat di mana pesta pernikahan Kehidupan dirayakan.
Biarkan aku disini, di belakangmu meratapi segala milikku yang hilang, yang telah
engkau persiapkan untukku."
Dia
menyembunyikan sabitnya di balik lipatan pakaiannya. Sejarah melihatnya laksana
sang ayah yang penuh cinta pada anak-anaknya, dan berkata, "Oh Syiria,
bukankah segala yang telah aku renggut darimu adalah pemberianku sendiri? Ketahuilah
bahwa saudara perempuan sebuah bangsa diberikan nama dari bagian kemenangan yang
menjadi milikmu. Aku harus memberikan pada mereka apa yang aku juga berikan
padamu. Kesedihanmu seperti negeri Mesir, Persia dan Yunani, setiap dari
negerinegeri itu juga memiliki sekawanan domba-domba kunis kering di padang rumput.
Oh Syiria, apa yang kau sebut dengan keburukan tak lain adalah sebuah tidur
yang menjadi hasrat kekuatan dirimu. Sesekali Bunga tidak akan kembali ke
kehidupan kecuali lewat kematian, demikian pula cinta tidak akan bersemi
kecuali setelah perpisahan."
Sang
lelaki tua itu datang menghampiri sang perawan, mengulurkan tangannya dan
berkata, "Goyangkanlah tanganku, oh Putri Nabi."
la
pun lalu menggoyangkan tangannya sambil memandangnya dari belakang layar
airmata dan berkata, "Selamat jalan, hai Sejarah, selamat jalan
untukmu."
Dan
ia membalas, "Sampai bertemu lagi, Syiria, sampai berjumpa lagi." Dalam
cuaca senja yang kelam, lelaki tua tersebut menghilang secepat cahaya.
Penggembala wanita memanggil domba-dombanya dan melanjutkan lagi perjalanannya.
Ia berkata pada dirinya sendiri, "Akankah di sana ada pertemuan yang
lain?"
