KAHLIL GIBRAN QUOTES

Terhina Karena Dunia



Hei orang yang lahir di atas buaian derita, di asuh di atas pakaian kesusahan, menjadi besar dalam rumah-rumah kesewenang-wenangan, kamulah yang akan memakan rotimu yang kering karena tarikan nafas panjang dan meminum airmu yang bercampur dengan air mata dan kesedihan.

Hei tentara yang menetapkan aturan-aturan manusia yang zalim hendaknya meninggalkan teman perempuannya dan anak-anak kecil serta orang yang dicintainya dan hendaknya pergi ke medan perang dan demi menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Hei penyair yang hidup dengan cara aneh di tanah kelahirannya dan yang tertutup di antara pemuka-pemukanya dan rela hidup dengan segumpal tanah dan rela membagi roti bersama daun-daun.

Hei yang terpenjara dan terlempar dalam kegelapan karena dosa kecil yang dipaksakan oleh yang durhaka yang membalas kejahatan dengan kejahatan dan yang telah dibenamkan oleh orang yang paling berakal yang melontarkan perbaikan di tengah-tengah kerusakan.

Dan kamu hei perempuan miskin yang telah diberi Tuhan kecantikan yang dilirik oleh pemuda cerdik lalu dia mengikutimu lalu dia melengahkanmu dan mengganti kemiskinanmu dengan emas yang karena itu kamu serahkan dirimu kepadanya lalu dia meninggalkanmu dalam keadaan ketakutan sehingga kamu menjadi gemetaran di depan cakar-cakar kehinaan dan kesengsaraan.

Hei kalian orang yang menyayangi orang yang lemah, kalian adalah pejuang-pejuang aturan hidup manusia, kalian menderita dan yang membuat kalian menderita adalah hasil kejahatan orang kuat dan dosa para hakim dalam kelaliman orang kaya serta kebejatan hamba syahwat nafsu angkara.

Janganlah kalian putus asa, karena ada orang-orang yang zalim terhadap alam, ada orang di balik sesualu, ada orang di balik mendung, ada orang di balik debu kekacauan, ada orang di balik segala sesuatu, yang kuat itu adalah Dia segala keadilan, segala kasih sayang, segala rindu dan segala cinta.

Kalian seperti bunga-bunga yang tumbuh dalam bayang-bayang. Angin sepoi akan berhembus dan membawa benih-benih kalian menuju cahaya matahari sehingga kalian hidup disana dengan kehidupan yang indah lagi menyenangkan.

Kalian adalah orang-orang yang memandangi pohon-pohon yang gundul yang tertutupi oleh salju musim dingin. Musim semi akan datang dan dan akan menutupi kalian dengan daun-daun hijau yang lebat.

Kenyataan akan merobek-robek penutup air mata yang menghapus senyum kalian.


Aku akan menerima kalian wahai saudara-saudaraku dan aku akan mengolok-olok orang yang menganiaya kalian.

Tangis dan Tawa



Tak akan kutukar duka lara hatiku dengan suka cita manusia. Aku tak rela bila air mata yang mengucur dari setiap kesedihan diri menjadi tawa. Biarlah hidupku berkubang air mata dan senyuman. Air mata yang menyucikan hidupku dan membuatku faham akan rahasia-rahasia hidup dan misterinya. Senyuman yang mendekatkanku pada orang-orang tercinta serta menjadi lambang pengagunganku terhadap Tuhan. Air mata yang memadukanku dengan orang-orang yang patah hati. Senyuman yang menjadi tanda kebahagiaanku akan keberadaanku.

Lebih baik aku mati membawa rindu daripada hidup menanggung jemu. Ingin kurasakan kelaparan cinta pada kecuraman jiwaku, karena aku melihat mereka yang telah puas adalah manusia paling celaka dan paling dekat pada mated. Aku mendengar dan aku menyimak desahan pencinta yang melebihi merdu rintihan apa pun.

Saat malam menjelang, bunga melihat daun-daunnya lalu tidur mendekap rindunya. Manakala pagi menyambang, ia membuka bibirnya demi menyambut kecupan sinar matahari. Kehidupan bunga-bunga adalah rindu dan pertemuan; air mata dan senyuman.

Lautan menguap, membubung, menggumpal lalu jadilah awan. Melintasi perbukitan dan lembah-lembah. Hingga manakala berjumpa semilir angin lembut, ia menangisi perladangan, bercucuran. Lalu menyatu bersama bengawan, kembali ke lautan: tanah airnya. Kehidupan awan-gemawan adalah perpisahan dan pertemuan; air mata dan senyuman.


Demikianlah jiwa terpisah dari roh yang umum, berjalan di alam materi dan berlalu seperti awan di atas pegunungan duka cita serta pedataran sukaria hingga bertemulah angin sepoi kematian lalu pulanglah ia ke tempat ia berasal, ke lautan cinta dan keindahan; menuju Tuhan.

Pesona Jiwa

Pada sebuah istana yang kemilau yang diselubungi pekat malam yang menjenterah laksana arak-arakan sang maut, seorang perempuan tengah duduk sendiri di atas sebuah singgasana yang terbuat dari gading. Kepalanya terkulai dalam sanggahan tangannya seperti secarik daun layu di tubuh tangkainya. la merasa tak ubahnya seorang pesakitan yang tak lagi menyimpan harapan. la ingin mendobrak dinding-dinding penjara dengan tatapan tajamnya, ingin merangsak keluar dan memasuki cawan kebebasan.

Waktu pun terus berlalu seperti setan yang berkelindan dalam jelaga malam. Sang perempuan berusaha menghibur dirinya sendiri dengan lelehan air mata bening nan hangat yang terbakar oleh rengsa yang menggigit kesunyiannya. la hanya ingin sejenak menanggalkan deritanya. Tetapi pikirannya kian berombak, meneteli anak-anak kunci yang melindungi rahasia pikirannya. Kemudian dijamahnya sebatang pena dan sehelai kertas. la pun mulai menarikan penanya dengan mata berurai sembab.

"Saudara-saudaraku terkasih. Masih adakah yang sanggup dilakukan seseorang kecuali hanya melolong dan menangis ketika seuntai jiwanya kian tidak kuasa menanggung hunjaman derita yang sebetulnya sangat ingin disimpannya rapat-rapat, namun tanggul matanya telah dibanjiri air mata dan rongga dadanya telah remuk-redam oleh gelegar duka yang mesti ditahan?

Sebagaimana seorang pencinta yang percaya bahwa mimpi-mimpi adalah muara penghiburan dan kesenangannya serta seseorang yang tertindas yang mencoba melaluinya dengan menanam harapan dalam irama belas-kasihan, seperti itu jugalah sang penderita meyakini lolongan pilu sebagai ketentraman. Kutuliskan surat ini kepadamu, lantaran akulah itu seorang penyair yang telah benar-benar menjadi saksi atas keagungan semesta dan mencoba merajutkan kembali keagungan itu dalam tembang Tuhan. Akulah itu seorang kanak-kanak yang merengek minta suapan karena deru lapar yang menyiksa. Namun lantaran sudah sedemikian laparnya, aku pun menjadi lupa akan kemiskinan, kasih-sayang bundanya dan kekerdilan hidupnya.

Saudaraku, menangislah untukku demi kau simak dongeng rengsaku ini. Tangismu akan menjelma doa dan air matamu yang penuh kasih-sayang akan menjadi sedekah yang maha suci karena terbit dari ketulusan jiwa yang sangat dalam dan bukannya dari keangkuhan yang menjijikkan. Ayahandaku telah mengikatkan perkawinan di leherku dengan seorang pria kaya lagi terhormat. Sebagaimana kebanyakan orang kaya, ayahku meresapi selembar hidupnya dengan memproduksi kekayaannya melalui tumpukan emas di gudang-gudangnya dan meriasi dirinya dengan keagungan para terhormat, membentengi dirinya dari kejamnya zaman. Aku beserta segenap cinta dan impianku telah ditumbalkan untuk persembahan lantai emas yang sangat memuakkanku dan keagungan martabat yang sangat menjijikkanku.

Tapi, aku tetap menghargai suamiku karena kutahu dia seorang pria yang baik dan mulia. Dia berusaha untuk menerbangkanku ke cakrawala kebahagiaan dan menganugerahkan seluruh harta karunnya demi kepuasan jiwaku. Tetapi cinta sejati
sungguh tiada ternilai dibandingkan semua pengorbanan itu. Saudaraku, janganlah engkau mentertawakanku, sebab kini akulah orang yang paling mengerti apa yang diharapkan jiwa perempuan. Getaran jiwa itu tak ada bedanya dengan sayap burung yang berkelepak dalam cakrawala cinta. Sebagaimana piala yang dikebaki anggur tua yang disuguhkan untuk jiwa yang kerontang. Serupa dengan sebuah buku yang setiap halamannya dipenuhi oleh carut-marut kebahagiaan dan penderitaan, kesentosaan dan kenestapaan, senyuman dan tangisan. Hanyalah sahabat sejati yang terdiri dari separuh perempuan yang telah diciptakan dari awal hingga akhir zaman yang sanggup membaca buku ini.

Dalam harapan dan impiannya, akulah orang yang paling memahami jiwa perempuan. Itu kugapai karena aku telah mencermati sendiri bagaimana kereta dan kuda suamiku yang mengusung semua harta kekayaannya sebenarnya tak setitik pun memiliki bandingannya dengan lirikan mata seorang pemuda kere yang menelan rengsa dalam penungguannya dan menghisap duka dalam kesedihan dan kemelaratannya. Akulah seorang manusia yang telah menjadi rumbal obsesi ayahandaku sendiri hingga aku terbelenggu dalam kubangan derita penjara kehidupan.

Saudaraku, di tengah gemuruh prahara yang melumatku, engkau tak perlu menghiburku, karena satu-satunya penghiburanku hanyalah ungkapan cintaku. Dan dari balik gelombang air mataku, aku tengah menunggu kunjungan sang maut yang akan menerbangkanku ke suatu dunia yang akan mempertemukanku dengan sejoli jiwaku, dan aku akan memeluknya sangat rapat sebagaimana dulu ketika kami belum terjerembab ke dalam dunia yang maha asing ini.

Dan engkau pun tak layak menistaku, lantaran aku telah menuntaskan semua tugas dan tanggungjawabku sebagai seorang istri yang baik yang telah dengan sangat bersusah payah mensujudi semua hukum dan tradisi para lelaki. Dalam segenap sadarku, aku telah memuliakan suamiku. Aku telah menyanjungnya dengan segenap jiwaku. Namun aku sama-sekali tak kunjung mampu menyuguhkan segenap cintaku. Ketahuilah, ini karena Tuhan sendiri telah memantapkan cintaku hanya untuk kekasihku, bahkan sebelum aku mengenalnya sekalipun.

Langit telah menggariskan bahwa aku harus menempuh hari-hariku dalam penguasaan seorang lelaki yang tidak diciptakan untukku dan aku telah menjalaninya sesuai dengan takdir Langit. Namun jikalau pintu keabadian tak kunjung terkuak, maka aku beserta sebagian keindahan jiwaku akan tetap menyatu dan menilai masa lalu sebagai masa kini. Aku akan menghargai kehidupan seperti apa yang dilakukan musim semi dalam menghargai musim dingin. Merenungkan tantangan kehidupan ini laksana seorang pendaki yang telah menyeberangi lereng-lereng terjal dan kini telah mencapai puncak gunungnya."

Pada bagian inilah, perempuan itu menghentikan tarian penanya. Di balik telapak tangannya, ia sembunyikan setangkup wajahnya. la menangis penuh pilu. Jiwanya telah mantap untuk mewariskan rahasianya yang paling agung kepada pena. Sementara air matanya telah menguap dan menyatu dengan cepatnya bersama embun di tubuh angkasa, di mana jiwa para pencinta dan bunga bersemayam.

Beberapa selang kemudian, ia kembali meraih penanya dan melanjutkan tulisannya:

"Ingatkah engkau pada pemuda itu? Apakah engkau masih mengingat pijaran cahaya yang memantul dari kedua bola matanya, rengsa yang menjenterai wajahnya serta seutas senyumannya yang menyerupai air mata seorang ibu yang kehilangan anak kesayangannya? Apakah engkau pun masih menyimpan nada suaranya yang laksana gemuruh dari lembah yang maha jauh? Dan apakah engkau masih pula mengingat bagaimana ia melamun, matanya yang menerawang dan bibirnya yang melafalkan kata-kata aneh, lantas dia menundukkan kepalanya sambil melenguh, seolah-olah serentak jiwanya menyimpan kecemasan akan terkuaknya rahasia-rahasia jiwa yang disembunyikannya?

Apakah engkau masih mengingat mimpi-mimpi dan keyakinan-keyakinannya? Apakah engkau masih mengingat semua hal itu yang terpancar pada diri seorang pemuda yang merupakan salah seorang putera kemanusiaan, yang telah dicemoohkan dengan kejam oleh ayahandaku, lantaran beliau merasa lebih luhur dari keagungan bumi dan lebih terhormat dari kekayaan warisan?

Saudaraku terkasih, tentu engkau mengerti bahwa sebenarnya aku adalah bom di dunia yang fana ini dan hanyalah korban dari sebuah ketololan. Adakah engkau akan menyimpan iba pada saudaramu yang tercenung seorang diri di antara kesenyapan gulita malam yang meraksasa, yang tengah menuturkan semua isi jiwanya dan menguakkan rahasia-rahasia jiwanya kepadamu?

Aku sangat percaya engkau akan mengasihaniku, sebagaimana kutahu cinta telah hinggap di ufuk batinmu."Ketika fajar berkelindan, perempuan itu telah terkapar dalam rengkuhan lelap. la berharap akan menemukan mimpi-mimpi yang jauh lebih indah dan bercahaya dari kenyataan hidup yang ditapakinya sewaktu nanti ia terjaga.


IBU

“Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata 'Ibu', dan panggilan paling indah adalah 'Ibuku'. Ini adalah kata penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati”
-KAHLIL GIBRAN-

Demi Kesucian Sejati


Untuk mencegah kian banyaknya jumlah korban jiwa yang jatuh dan amunisi, kita harus mundur dalam pola yang teratur ke dalam kota yang tidak dikenal musuh dan di sana kita bangun strategi baru lagi," kata sang jenderal dengan wajah tegang karena tidak ada jalan lain kecuali mengumandangkan perintah itu. "Kita akan berjalan menembus hutan belantara. Itu akan lebih baik daripada kita kemudian terhalang oleh musuh. Kita akan menuju sebuah markas, barulah di sana kita akan beristirahat dan menambah bahan makanan."

Balatentaranya menyetujui, lantaran dalam situasi genting seperti itu tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Mereka berjalan menembus rimba belantara selama empat hari di bawah berbagai tekanan teriknya siang, dinginnya malam menusuk tulang, haus dan lapar. Sampai suatu ketika mereka melihat sebuah bangunan yang menjulang seperti sebuah kastil kuno. Pintu gerbangnya laiknya sebuah kota bertembok. Pemandangan itu membangkitkan kegembiraan di hati. Mereka menyangka bahwa inilah markas yang mereka tuju untuk beristirahat dan mengumpulkan makanan.

Sewaktu mereka membuka gerbang, sampai beberapa saat tak ada seorang pun yang menyembut. Lalu, seorang wanita berjubah hitam, di mana wajahnya merupakan satu-satunya bagian tubuh yang tampak, menyembul di pintu.

la memberi penjelasan kepada jenderal bahwa tempat itu adalah sebuah biara khusus wanita yang harus diperlakukan seperti lazimnya. Tidak boleh ada kekerasan pada para biarawati. Jenderal memberikan jaminan dan meminta makanan untuk balatentaranya pada wanita itu. Mereka beristirahat di sebuah sisi biara itu.

Jenderal itu adalah sosok lelaki dengan usia sekitar empat puluh tahunan -seorang yang keji dan tak pernah menikah. la berhasrat mencari kesenangan dengan melampiaskannya pada salah seorang biarawti, akibat tertekan oleh kekhawatiran selama pertempuran. Nafsu jadah itu mendorongnya mengotori tempat suci itu, tempat di mana para biarawati berhubungan dan memanjatkan doa pada Tuhan tanpa lelah, tempat yang jauh dari dunia yang kacau dan balau.

Akibat nafsu itu, jenderal lupa atas janjinya pada pemimpin biara. la memanjati sebuah tiang yang menuju ke sebuah ruangan yang dihuni seorang biarawati yang sempat dilihatnya melalui jendela. Kehidupannya yang tenggelam dalam doa dan pengasingan sama sekali tidak pernah berhasil mengikis gurat-gurat kecantikan wajah biarawati itu. la muncul laiknya pengembara di sebuah dunia yang penuh durja ke tengah rimba yang memungkinkannya menyembah Tuhan tanpa gangguan apa pun. Jenderal itu mencabut pedangnya dan mengancam akan membantai biarawati itu jika berteriak atau berupa meminta pertolongan.

Biarawati itu hanya tersenyum dan diam, seakan-akan ia sengaja ingin memuaskan tuntutan jenderal itu. "Duduklah dan beristirahatlah, kulihat kau sangat kelelahan," ujarnya setelah menatap lelaki keji itu.

Merasa yakin atas mangsa di hadapannya, jenderal itu duduk di dekatnya.

"Aku kagum padamu, Prajurit, akan keberanianmu melemparkan dirimu ke tengah pertempuran yang mengincarkan maut," lanjut biarawati itu.

Jenderal yang pengecut dan bodoh itu menyahut, "Situasilah yang memaksa kami memasuki medan perang. Seumpama saja orang-orang luas tidak akan memanggilku pengecut, tentu aku tak mungkin sudi memimpin balatentara durja itu."

"Apakah kau tidak tahu bahwa di tempat kudus ini kami memiliki ramuan ajaib yang akan melindungi tubuhmu dari runcing panah dan tajam pedang bila kau oleskan?" sahut biarawati itu seraya tersenyum.

"Betulkah? Di mana ramuan itu? Tentu sekarang ini aku sangat membutuhkannya!"

"Tentu aku sudi memberikan sebagiannya padamu."

Jenderal itu sama sekali tidak meragukan ucapan biarawati itu, lantaran ia dilahirkan di antara kelompok orang yang masih sangat mempercayai takhayyul. Biarawati menjamah sebuah botol yang berisi cairan putih. Jenderal itu mulai sangsi menyaksikannya. Namun kemudian biarawati itu mengeluarkan sedikit cairan dari botol itu, lalu memoleskannya ke lehernya sendiri dan berucap, "Aku akan membuktikannya padamu bila kau tak mempercayaiku. Lolos pedangmu, tebaskan ke leherku sekuat tenagamu!"

Akhirnya jenderal yang memimpin balatentara perang itu menebaskan pedangnya sekuat tenaga, kendati sebenarnya ia ragu. Ia melakukannya karena terus ditekan oleh biarawati itu.

Di akhir tebasannya, disaksikannya kepala biarwati itu menggelinding dari tubuhnya yang rebah ke tanah tanpa bergerak sedikit pun. Sontak ia menyadari bahwa semua ini hanyalah tipu muslihat biarawati itu untuk mempertahankan diri dari perbuatan nista itu.

Sang biarawati yang perawan mati... Sementara sang jenderal menyaksikan dua benda di hadapannya: mayat sang perawan dan cairan putih itu. Ia lantas menedang pintu karena kehilangan akal, berlari keluar, seraya menenteng pedang yang masih berlumuran darah. Ia memekik-mekik pada balatentaranya: "Ayooo, tinggalkan tempat ini...!!!"


Ia tak menghentikan laju larinya sampai kemudian beberapa tentaranya menemukannya sedang meratap menangis seperti bocah: "Akulah yang membunuhnya, akulah yang membunuhnya...!"

Narasi


Di tepi sungai itu, di bawah kerimbunan pohon kenari dan willow, duduklah seorang anak petani sambil memandang arus air yang mengalir tenang dan syahdu. Seorang anak muda yang tumbuh besar di antara perladangan, di mana segala sesuatunya mempercakapkan cinta. Cabang-cabang berpelukan, bunga-bunga bergoyang, burung-burung melompat-lompat. Alam beserta isinya mengkhotbahkan
ajaran Roh.

Adalah seorang pemuda dua puluh tahunan usia yang kemarin melihat seorang gadis di antara gadis-gadis di dekat sebuah perigi, kemudain ia mencintainya. Namun setelah ia tahu dia adalah seorang puteri raja, kecewalah hatinya. Ia hanya bisa mengeluh pada dirinya sendiri. Tapi celaan tak bisa memalingkan hati dari cinta, ataupun memalingkan jiwa dari kebenaran. Manusia, di antara hati dan jiwanya, laksana tunas sebuah ranting di antara angin utara dan angin selatan.

Begitu ia memandang, dilihatnya bunga violet di antara bunga kanigara. Didengarnya burung bulbul bercakap dengan burung murai. Ia menangisi kesendirian dan kesepiannya. Saat-saat cintanya melintas di depan mata, seperti hantu yang berlalu, maka dia pun berkata dengan perasaan mengalir, berpadu dengan air mata dan kata-katanya.

"Begitulah cinta menghinaku, demikian pula ia menjadikanku tercela, menggiringku pada suatu batas di mana harapan dianggap sebuah aib dan dambaan berarti nista. Cinta yang kupuja telah mengangkat hatiku ke istana sang raja sekaligus menjatuhkanku ke gubuk petani. Berjalan seiring jiwaku pada kecantikan seorang bidadari yang dijaga para lelaki dan dikawal oleh derajat yang agung."

"Oh Cinta, aku seorang patuh, lalu apakah yang kauinginkan? Telah kutelusuri jalanmu yang berapi dan telah menghanguskanku. Telah kubuka mata dan tak kulihat melainkan kegelapan. Telah kubuka mulutku tetapi aku tak dapat mengucapkan apapun kecuali mengucapkan putus asa. Kerinduanku memelukku, aduhai cinta, dengan kelaparan sukmawi dan tak akan selesai melainkan dengan kecupan kekasih. Aku lemah, wahai cinta, sementara engkau perkasa, lalu kenapa kaumusuhi aku? Mengapa aku kaudera sedang engkau adil dan aku merdeka? Mengapa aku kauhina sementara engkau adalah penolongku satu-satunya? Mengapa aku kaukucilkan sedangkan engkau adalah keberadaanku?"

"Maka apabila darahku akan mengalir di luar karsamu, tumpahkanlah. Apabila kakiku akan melangkah di selain jalanmu, lumpuhkanlah. Lakukan apa maumu pada raga ini tapi biarkan jiwaku bahagia pada perladangan ini, berlindung di bawah naungan sayap-sayapmu."

"Sungai-sungai mengalir menuju kekasihnya, lautan. Bunga-bunga tersenyum pada pencintanya, cahaya. Dan awan-awan turun menuju dambaannya, lembah. Sedang aku, pada diri ini ada sesuatu yang tak dimengerti sungai, tak didengar bunga-bunga dan tak dipahami awan-gemawan. Dan engkau lihat aku sendiri dalam bencanaku, sendiri dalam cinta menyala, jauh dari dia yang tak menghendakiku menjadi prajurit di dalam bala tentara ayahnya serta tak rela bila aku menjadi seorang abdi dalam istananya."

Pemuda itu diam sejenak. Seolaholah ia ingin belajar bicara pada gemercik air sungai dan gemerisik daundaun di pepohonan. Lalu ia kembali bicara sendirian.

"Duhai engkau pemilik nama yang aku takut, bahkan untuk memanggilnya
sekalipun. Engkau yang terhalang pandang dariku oleh tirai keagungan dan dinding kemuliaan. Duhai bidadari yang akan kujumpai di alam baka, di mana semuanya dipandang sederajat. Duhai insan yang dianugerahi tenaga di mana para abdi membungkuk di hadapannya, pintupintu gudang dan tempat ibadah terbuka untuknya, engkau kuasai hati yang dikeramatkan cinta, telah kauperbudak jiwa yang dimuliakan Tuhan, telah kautahan akal yang kemarin merdeka seperti perladangan ini, maka jadilah hari ini ia menjadi tawanan bagi belenggu cinta menyala ini."

"Aku melihatmu, duhai jelita, maka aku tahu sebab kedatanganku ke dunia ini. Dan setelah kutahu keagungan pangkatmu dan kehinaan diriku, maka aku sadar bahwa ada rahasia-rahasia Tuhan yang tak dapat dimengerti oleh manusia, serta jalan menuju suatu tempat di mana cinta memutus tidak dengan hukum manusia."

"Setelah kutatap sepasang matamu aku menjadi yakin bahwa kehidupan dunia ini adalah taman Firdaus dengan hati manusia sebagai pintu gerbangnya. Dan begitu kulihat kemuliaanmu dan kehinaanku, bertarung seperti pertarungan mastodon dan serigala, aku tahu bahwa dunia ini tidaklah pantas kuhuni. Aku menduga, setelah kulihat engkau duduk di antara wanita-wanita temanmu, serupa mawar di antara bunga-bunga, bahwa pengantin mimpiku telah menjelma sosok manusia sepertiku. Dan sesudah kutahu kemuliaan ayahmu aku sadar bahwa mawar memiliki duri yang dapat melukai jemari. Segala sesuatu yang telah disatukan mimpi, kesadaran akan memisahkannya..."

la bangkit lalu melangkah menuju perigi dengan dua tangan terjurai. Luluh hatinya. la lukiskan putus harapaannya dengan kalimat-kalimat ini:

"Wahai maut, bebaskan aku, karena bumi di mana onak duri mencekik leher bunga-bunganya, tidaklah pantas dihuni. Kemari dan bebaskanlah diriku dari hari-hari di mana ia turunkan cinta dari singgasana keagungannya dan menggantinya dengan
kemuliaan tahta. Kemarilah duhai maut, karena keabadian lebih pantas sebagai tempat pertemuan dua kekasih. Di sanalah, kematian, kekasihku menunggu. Di sanalah kami
akan menyatu."

Malam telah turun ketika ia mencapai mata air. Matahari menarik selempang-selempang keemasannya dari pedataran itu. Dan duduklah ia dengan air mata merana, menetes di rerumputan yang kemarin dilalui sepasang kaki putri raja itu. Ia menundukkan kepala ke dada, seakan-akan khawatir hatinya keluar.

Pada kejap itu, dari balik pohonpohon willow, tampaklah seorang gadis menjinjing ujung keliman gaunnya di atas rumput, lalu berhenti di hadapan pemuda itu dan menaruh tangannya yang suterawi pada kepalanya. Pemuda itu kemudian menatapnya dengan pandangan orang tidur yang terbangun oleh sinar matahari. Ia melihat putri raja itu tertegun di hadapannya. la pun berlutut seperti halnya
Musa ketika melihat semak-semak
menyala.

Saat ia hendak berkata, ia bungkam. Dan air matanya yang tergenang itulah sebagai ganti mulutnya.

Gadis itu lalu memeluknya, mengecup bibirnya, mencium matanya dan menghisap air matanya yang hangat lalu berkata dengan suara yang melebihi lembut alunan seruling.

"Telah kulihat engkau, kekasihku, dalam mimpi-mimpiku. Kulihat wajahmu
dalam kesendirianku dan keterpisahanku. Engkaulah kekasihku yang hilang dan belahan jiwaku yang rupawan, terpisah manakala aku ditakdirkan lahir ke dunia ini. Aku datang sembunyi-sembunyi demi menjumpaimu. Dan kini lihatlah, engkau berada dalam rengkuhanku. Tak usah cemas karena telah kutinggalkan kemuliaan ayahku untuk mengikutimu ke penghujung bumi sekalipun, bersamamu aku akan mereguk cawan hidup dan kematian. Bangkitlah kekasihku, mari kita pergi menuju ternpat yang jauh dari manusia."

Sepasang asyik-masyuk itu pun berjalan di antara pepohonan yang disembunyikan tirai-tirai malam, tapi tidak terhijab oleh para pengintai sang raja dan bayang-bayang kegelapan.

Di sana, di penghujung negeri, secara kebetulan para mata-mata raja menemukan sepasang kerangka manusia. Pada leher salah satunya terdapat kalung emas. Di dekat mereka terdapat sebuah batu dengan aksara sebagai berikut; Cinta telah menyatukan kami, siapa mampu memisahkan kami? Kematian telah merenggut

kami, siapa sanggup mengembalikan kami?

Kecantikan yang Luar Biasa

                      


Kemanakah kamu hendak berjalan bersamaku, hei yang cantik luar biasa?

Sampai kapankah aku akan mengikutimu di atas jalan yang kasar, yang ada di antara tebing-tebing batu, yang penuh dengan duri-duri, yang kita daki dengan kaki kita menuju puncak ketinggian dan yang membawa kita turun ke dasar lembah yang terdalam? Aku telah berpegang erat pada ujung pakaianmu dan berjalan di belakangmu seperti anak kecil yang berjalan di belakang ibunya, sambil melupakan
mimipi yang terjadi padaku, berjalan berputar-putar menggapai keindahanmu, meghalau arak-arakan awan yang berterbangan di sekitar kepalaku dan tertarik oleh kekuatan yang bersembunyi dalam tubuhmu.

Berhentilah sejenak agar aku melihat keelokan wajahmu, tataplah aku lekat-lekat agar aku melihat dalam matamu itu rahasia-rahasia hatimu dan aku mengerti akan roman wajahmu yang menyiratkan ratapanratapan jiwamu.

Berhentilah sebentar hei yang memepesona,aku telah bosan berjalan dan jiwaku telah gemetaran karena kengerian-kengerian yang ada di jalan ini. Berhentilah, kita telah sampai di penghujung jalan di mana kematian akan memeluk kehidupan, dan aku tidak akan menempuh jalan lain sampai jiwaku mengerti akan kehendak-kehendak jiwamu dan hatiku memahami isi lorong hatimu.

***

Dengarkanlah hei peri yang mempesona.

Kemarin aku adalah burung yang bebas, aku berpindah-pindah di antara sungai-sungai dan aku berenang di angkasa dan di astas pucuk-pucuk ranting-ranting. Dan saat sore hari aku mengimpikan istana-istana dan haikal-haikal yang ada di kota awan warna-warni yang dibangun oleh matahari saat senja hari dan merubuhkannya
sebelum terbenam. Bahkan kemarin aku seperti ide, aku berjalan sendirian di belahan
timur dan belahan barat bumi, bergembira dengan keindahan-keindahan hidup dan kenikmatan-kenikmatannya, menguraikan lipatan-lipatan wujud dan rahasia-rahasianya.

Bahkan kemarin aku seperti mimpi, aku merayap di bawah sayap malam dan aku masuk ke dalam bilik gadis-gadis perawan malalui celahcelah jendela lalu aku memain-mainkan perasaan mereka, kemudian aku berdiri di samping ranjang pemuda-pemuda lalu aku terbang-terbangkan hasrat-hasrat mereka, kemudian aku duduk di dekat balai-balai orang-orang tua renta dan aku buai-buai pikiranpikiran mereka.

Dan hari ini, setelah aku bertemu denganmu hei peri yang mempesona, dan aku telah terkena racun yang melekat di kedua tanganmu, aku telah menjadi seperti tawanan, kamu tarik ikatan-ikatanku ketempat yang aku tidak mengenalnya, bahkan menjadi seperti orang mabuk karena kebanyakan minum arak yang merampas kehendakku dan genggaman telapak tangan yang menyambar wajahku

Tetapi, berhentilah hei peri yang mempesona sebentar saja, dan lihatlah
kekuatanku yang telah pulih dan ikatan-ikatan yang ada padaku yang mengikat kedua kakiku telah terputus dan aku telah pecahkan gelas yang dari gelas itu aku telah meminum racun yang kamu anggap baik. Lalu apa yang kamu mau untuk kami kerjakan dan di atas jalan mana yang kamu kehendaki untuk kami lalui?

Telah aku tarik kembali kebebasanku, karena itu apakah kamu rela terhadapku sebagai teman yang merdeka, terbang berputar-putar menuju wajah matahari dengan membawa pelupuk-pelupuk mata yang beku da menggenggam api dengan jari-jari tanpa merasa gemetaran?

Aku telah bentangkan sayapku yang kedua karena itu apakah kamu mau menamaniku menghabisakan waktu dengan terbang seperti burung nazar melintas di antara gunung-gunung dan melewatkan malam dengan mendekam seperti singa di padang rumput?

Apakah kamu merasa puas dengan cinta seorang lelaki yang menjadikan cinta sebagai teman dan apakah kamu merasa segan dengan cinta itu sebagai seorang tuan?

Apakah kamu bisa menerima cintanya hati yang kehausan, yang tidak tunduk, yang menyala-nyala namun dia tidak mencair?

Apakah kamu merasakan ketenangan bersama keinginan-keinginan jiwa yang gemetaran di depan angin kencang namun dia tidak rubuh, dan terbang bersama angin
puyuh namun dia tidak terpental dari tempatnya?

Apakah kamu rela menganggap aku sebagai sahabat yang tidak menindas dan tidak pula ditindas? Kalau begitu satukanlah kedua tanganku ini dengan kedua tanganmu yang indah itu, dan tubuh ini peluklah dengan kedua lenganmu yang lembut
itu, dan mulutku ini ciumlah dengan ciuman panjang lagi dalam yang mengulum kalbu.



Jagad Raya dan Isinya


                Aku duduk di sebuah tanah lapang ketika fajar senja memadu satu di jingga
langit, sambil bercengkrama dengan Semesta, sementara Manusia beristirahat dengan teduh di bawah kerudung lelapnya. Aku terbaring di atas rumput hijau dan melakukan semedi tentang persoalan-persoalan hidup: "Apakah Kebenaran adalah Keindahan? Apakah Keindahan adalah Kebenaran?"

Dan semesta pikiranku kutemukan diriku terpencil dari umat manusia, dan khayalanku membongkar tirai mated yang menyembunyikan telaga sukmaku. Jiwaku mengembara menyusuri keghaiban Semesta, dan telingaku terbuka oleh bahasa keajaibannya.

Setelah aku duduk terpekur, aku merasakan semilir angin melintasi ranting-ranting pohon, dan aku mendengar suara merintih seperti erangan seorang anak yatim piatu yang tersesat.

"Mengapa engkau berkeluh kesah, hai sepoi angin yang lembut?" aku bertanya.

Dan angin sepoi-sepoi itu menjawab, "Karena aku telah datang dari kota yang bercahaya dengan panas mentari, namun benih-benih wabah penyakit dan pencemaran mencabikcabik jubah kebesaranku. Pantaskah kamu menyalahkanku karena berduka
cita?"

Kemudian aku menatap pada wajah-wajah bunga yang ternodai oleh airmata, dan aku mendengarkan rintihan mereka yang lembut. Aku bertanya, "Mengapa kalian menangis, bungaku yang indah?"

Salah satu bunga mengangkat kepalanya yang lembut dan berbisik, "Kami menangis karena Manusia akan datang untuk memotong kami, lalu menawarkan kami untuk dijual di pasar-pasar kota."

Bunga yang lain menambahkan, "Di waktu semesta, ketika kami layu, kami dilemparkan ke atas tumpukan sampah. Kami menangis karena tangan Manusia yang bengis merenggut kami dari taman."

Dan aku mendengar aliran sungai meratap seperti seorang janda yang meratapi kematian suami dan putraputrinya dan aku bertanya, "Mengapa engkau menangis, aliran sungaiku yang suci?"

Dan aliran sungai itu menjawab, "Karena aku dipaksa untuk pergi ke kota di mana Manusia menodai kesucianku dan menolakku dengan angkuh untuk menjadikanku minuman yang menguatkan, dan menjadikan aku sebagai tempat penampungan sampah, mencemari kesucianku serta mengubah kebaikanku menjadi dekil."

Dan aku mendengar kicau burung yang merintih, dan aku bertanya, "Mengapa kalian menangis, burungburungku yang cantik?"

Salah satu dari burung itu terbang mendekat, hinggap di sebuah ranting dan bertutur, "Anak-anak Adam akan segera datang ke ladang ini dengan senapan-senapan mereka yang mematikan dan membidikkannya ke tubuh kami, seolah kami adalah monster yang mengancam kehidupan mereka. Saat ini kami memilih daundaun yang dapat menaungi kami sebagai tempat perlindungan, karena kami tak tahu kemana lagi harus lari dari kemurkaan manusia. Kematian mengintai kami kemana pun kami pergi."


Sekarang matahari terbit dari belakang puncak pegunungan, dan menyepuh puncak-puncak pepohonan dengan pelangi. Aku memandang keindahan ini dan bergumam pada diriku sendiri, "Mengapa Manusia harus menghancurkan apa yang telah di bangun oleh Semesta?

Iblis-Iblis





Al-Khauri adalah orang yang tajam pendengarannya, dia tahu semua detail seluk beluk hal-hal ruhiyah (immaterial), dia mampu membuka persoalan-persoalan ketuhanan, dia tahu secara dalam rahasia-rahasia dosa-dosa dan kematian, dia bisa melihat rahasia Jahim, Firdaus dan Muthahhir.

Al-Khauri selalu berpindah-pindah di desa-desa di Libanon Utara untuk mensehati manusia dan menyembuhkan jiwa-jiwa mereka dari dosa-dosa dan melepaskan mereka dari jerat-jerat syetan, karena syetan adalah musuh al-Khauri yang selalu melawannya siang malam tanpa merasa bosan dan lelah.

Penduduk desa-desa itu memuliakan al-Khauri Sam'an dan mereka tidak merasa rugi denagn menukar nasehat-nasehatnya dan do'a-doa, ya dengan emas, perak, dan mereka berlomba- lomba utnuk mendapatkan petunjuknya yang lebih baik dari apa pun yang dihasilkan pohon-pohon dan lebih utama dari apa yang ditumbuhkan di ladang-ladang mereka.

Pada suaru malam musim gugur Al-Khauri Sam'an berjalan di suatu tempat yang sunyi menuju desa terpencil yang terletak di antara gunung-gunung dan lembah-lembah. Kemudian dia mendengar suara mengerang yang datang dari sisi jalan, lalu ia menoleh dan tiba-tiba ia melihat ada seorang lelaki telanjang tergeletak di atas tanah dan berlumuran darah yang mengalir dari luka-luka yang ada di kepalanya dan dadanya, lelaki terluka itu berkata minta tolong: Selamatkan aku, tolong aku, kasihanilah aku, aku sekarat.

Lalu al-Khauri Sam'an berhenti bingung dan memandangi lelaki yang merintih itu dan berkata dalam hatinya: Mungkin dia salah seorang perampok, aku kira dia telah berusaha merampok rombongan musafir namun ia. Saat itu lelaki terluka itu sedang sekarat dan jika dia mati sementara aku ada di dekatnya maka aku akan dicap bersalah bila aku membiarkannya.

Al-Khauri berkata demikian seraya meneruskan langkahnya namun lelaki terluka itu menghentikannya dengan berkata: Jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku? Aku mengenalmu dan kamu tahu siapa aku. Aku adalah gelandangan yang tak punya tempat untuk bernaung?

Al-Khauri berkata dalam hati, wajahnya memucat dan bibirnya gemetaran: Aku kira orang ini salah satu pelawak yang melucu di depan orang-orang kemudian al-Khauri Sam'an kembali dan berkata pada dirinya: Sungguh luka-lukanya membuatku bergidik takut, lalu apa yang bisa aku lakukan untuknya? Sesungguhnya tabib penyakit kejiwaan (ruhaniyah) itu tidak bisa mengobati penyakit
Jasmani.

Kemudian al-Khauri Sam'an berjalan beberapa langkah, namun lalu lelaki terluka itu berteriak, mencairkan kebekuan dengan berkata: Dekatlah padaku, dekatlah, karena kita adalah sahabat sejak lama sekali, kamu adalah al-Khauri Sam'an orang saleh, dan aku -aku bukanlah perampok atau orang sinting. Mendekatlah dan jangan tinggalkan aku, aku akan mati kesepian di lembah sunyi ini. Mendekatlah, aku akan katakan siapa aku.

Lalu al-Khauri mendekat ke arah lelaki sekarat itu dan menunduk sehingga ia bisa melihat seraut wajah aneh yang bagian-bagiannya menyiratkan ketulusan dibalut tipuan, kejelekan ditutup keindahan, najis dipoles kesucian. Al-Khauri Sam'an mundur ke belakang sambil berteriak: Siapa kamu?.

Lelaki sekarat itu berkata lemah: Jangan takut wahai Bapak, kita adalah teman sejak lama sekali, bantu aku berdiri dan berjalanlah bersamaku menuju sungai kecil dan cucilah luka-lukaku dengan sapu tanganmu.

Al-Khauri berteriak: Katakan kepadaku siapa kamu, aku tidak mengenalmu, seingatku aku tidak pernah bertemu denganmu selama hidupku.

Lelaki terluka itu berkata dan seakan telah cengkeraman maut memeluk suaranya: Bapak tahu siapa aku, Bapak telah menemuiku 1000 kali dan Bapak telah melihat wajahku di setiap tempat. Aku adalah makhluk terdekat kepadamu, bahkan aku lebih tua dari hidupmu.
Al-Khauri berteriak: Kamu bohong, kamu makhluk mengerikan, aku tidak pernah melihat wajahmu dalam hidupku, katakan siapa kamu jika tidak aku akan membiarkanmu mati berlumurkan darah.

Lelaki terluka itu bergerak-gerak sedikit lalu memandang tajam ke arah mata al-Khauri dan nampaklah di kedua bibirnya senyum yang penuh arti, dan dengan suara tenang, lembut lagi dalam dia berkata: Aku syetan. Maka berteriaklah orang suci itu,
kengerian-kengerian di setiap sudut lembah itu mebuatnya gemetaran, kemudian ia pandangi lekat-lekat lelaki sekarat itu, Sam'an melihat tubuh yang penuh luka itu berdiri dalam rupa iblis sebagaimana lukisan perhitungan atas dosa yang di ganturig di
dinding gereja desa, kemudian Sam'an berteriak: Tuhan telah memperlihatkan kepadaku gambar wajah jahanammu agar aku semakin membencimu, kamu orang yang terkutuk untuk selama-lamanya!

Syetan berkata: Jangan terburuburu hei Bapak, jangan buang-buang waktu dengan omong kosong, tetapi mendekatlah dan balutlah luka-lukaku sebelum nyawa yang ada di dalam tubuhku mengalir keluar.

Al-Khauri berkata: Sesungguhnya jari-jariku yang selalu mengangkat sesaji untuk Tuhan-Tuhan disetiap harinya tidak akan pernah menyentuh tubuhmu yang terbuat dari tanah keras neraka Jahim, enyahlah kamu sebagai yang terkutuk dari kehidupan zaman dan bibir manusia, kamu adalah musuh lama dan penyebab atas kelaliman manusia.

1
2
3

PUISI KAHLIL GIBRAN